Minggu, 24 Februari 2013

Perang Korea, Life Magazine, dan Kebangkitan Nippon Kogaku


Sejarah mencatat bahwa Nippon Kogaku (Nikon) pertama mulai memproduksi lensa untuk kamera rangefinder Kwanon (Canon) sebelum membuat jajaran lensa mereka sendiri, yang diberi nama Nikkor.


Nippon Kogaku sebagai salah satu pihak yang menerima rancang bangun lensa Zeiss 50mm f/2 Sonnar1 lalu pada tahun 1948 membuat jiplakan lensa tersebut dan diproduksi sebagai Nikkor 50mm f/2HC. Lensa ini menggunakan formula Sonnar tradisional dengan konfigurasi 6 elements dalam 3 grup. Lensa ini sudah diberi single coating1. Lensa ini dibuat dalam mounting Nikon S (untuk kamera rangefinder Nikon), dan Leica Thread Mount.

Kemudian  pada tahun 1950 Nippon Kogaku membuat lensa Nikkor 50mm f/1.5 yang merupakan jiplakan dari Zeiss 50mm f/1.5 Sonnar. Lensa ini menggunakan formula Sonnar tradisional dengan konfigurasi 7 elements dalam 3 grup, juga diberi single coating1. Lensa ini dibuat dalam mounting Nikon S (untuk kamera rangefinder Nikon), dan Leica Thread Mount.


LIFE MAGAZINE

Reporter Life Magazine pada masa itu, David Duncan Douglas2 dan Horace Bristol yang bertugas di Jepang sangat terkesan dengan ketajaman lensa Nikkor tersebut. 

Potret David Duncan Douglas oleh Jun Miki (Nikkor 85mm f/2 Sonnar LTM)

Sesudah pertemuan dengan Dr. Masao Nagaoka, presdir Nippon Kogaku, akhirnya mereka memutuskan untuk mengganti lensa yang mereka pakai saat itu dengan Nikkor. David mengganti lensa Leica pada kamera Leica IIIc dia dengan lensa Nikkor LTM, dan Horace mengganti lensa Zeiss pada kamera Contax dia dengan lensa Nikkor Contax-RF mount.


David Duncan Douglas



PERANG KOREA

Segera sesudahnya, Perang Korea pecah pada tanggal 25 Juni 1950 (sampai 27 Juli 1953) dan reporter tersebut dikirim ke lokasi perang. Hasil liputan pertama David adalah “The First Five Days” merupakan reportase jurnalisme yang spektakuler, dan semua foto reportase dibuat dengan lensa Nikkor. Perlahan tapi pasti, reporter-reporter lain mulai beralih ke lensa Nikkor, dan kamera rangefinder Nikkor. Sebabnya adalah lensa Nikkor memberikan derajat kontras yang lebih bagus dibanding lensa Jerman yang mereka pakai sebelumnya. Hal ini sangat menguntungkan karena foto yang dicetak pada kertas koran terlihat lebih tajam dan hidup.


Leica III milik David dengan lensa Nikkor 50mm f/1.5


Salah satu edisi majalah Popular Photography pada tahun 1951 juga memuat artikel 10 halaman mengenai reportase David Duncan Douglas dan ulasan lensa Nikkor yang dia pakai untuk meliput Perang Korea. Reporter New York Times pada saat itu juga memberikan komentar yang mengunggulkan lensa Nikkor dibandingkan lensa Zeiss.

Zeiss pada masa pasca Perang Dunia ke-2 sedang berada dalam masa sulit. Zeiss terpecah menjadi dua perusahaan independen yaitu Zeiss Opton (kota Oberkochen, Jerman Barat), dan Zeiss Jena (kota Jena, Jerman Timur). Dalam masa pasca Perang Dunia ke-2 sampai tahun 1951 adalah saat dimana Zeiss banyak mengalami kesulitan dalam hal Quality Control. Salah satu penyebab adalah banyak sekali perangkat kerja di pabrik lama dan tenaga kerja ahli mereka yang dibawa paksa ke Rusia.

Sedangkan Nippon Kogaku pada masa itu tidak menggunakan system random Quality Check pada produksi lensa mereka, namun melakukan QC individual. Pada setiap lensa dilakukan kolimasi dan penyetelan akhir dengan ketebalan shim yang tepat. Hal ini dibuktikan oleh David Duncan Douglas yang mengunjungi pabrik Nippon Kogaku dimana dia mengambil lensa secara acak dari stok yang ada dan ternyata semuanya memiliki performa yang seragam.

Zeiss dengan keras membantah hasil evaluasi reporter Life Magazine tersebut dan menyebut hasil evaluasi mereka tidak objektif dan berat sebelah. Namun sudah terlambat, momentum ini menjadi kebangkitan industry optic Jepang yang sebelumnya dianggap sebagai jiplakan murah dari rancangan produk Jerman. Dalam sekejap produk lensa Jepang disejajarkan dengan produk terbaik dari Jerman.

Harga pasaran lensa Nikkor 50mm f/1.5SC saat ini berkisar Rp 32.000.000, untuk kondisi bagus. Lensa ini terhitung langka karena hanya dibuat dalam jumlah beberapa ratus unit.

Lensa lain yang dibawa oleh David Duncan Douglas ke medan perang adalah Nikkor 85mm f/2 Sonnar LTM. Lensa ini menggunakan rancang optik yang sama dengan Zeiss Opton 85mm f/2 Sonnar (Contax RF-mount).

Pada tahun 1951, Nippon Kogaku menyempurnakan lensa tersebut menjadi 50mm f/1.4SC. Rancangan lensa ini dioptimalkan untuk focus jarak dekat, sekitar 2-5 mtr, dan penggunaan pada aperture wide open. Lensa ini juga dibuat dalam mounting Nikon-S, dan Leica Thread Mount. Lensa ini dibuat dari bahan kuningan yang disepuh chrome sehingga bobotnya berat meskipun ukuran tidak seberapa besar.



Sampai sekarang lensa Nikkor 50mm f/1.4SC ini dianggap sebagai salah satu lensa klasik legendaris, khususnya untuk foto human interest. Sifat lensa Sonnar klasik ini memberikan impresi soft & sharp pada saat bersamaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata, terutama bila digunakan pada aperture f/1.4 – f/2. Kelemahan lensa ini adalah kurang cocok bila digunakan untuk focus jarak jauh dan pada aperture kecil diatas f/8. Lensa ini juga tidak cocok digunakan untuk fotografi arsitektur karena adanya lengkungan dalam field of focus.

Catatan:
1.       Baca artikel sebelumnya tentang “Lensa Sonnar”, mengenai asal-muasal teknologi coating lensa Nikkor dan Canon.
2.       Baca mengenai David Duncan Douglas di: http://en.wikipedia.org/wiki/David_Douglas_Duncan

Update: 11 Maret 2013.

Jumat, 08 Februari 2013

Leica CL & Summicron 40mm

Babak 1: Wetzlar, Jerman, 1971.

Awal 1970an merupakan masa yang kelam bagi Leitz. Pada masa tersebut kamera rangefinder sudah ditinggalkan oleh konsumen yang lebih memilih kamera SLR. Produsen Jepang sendiri pada periode paruh kedua  dasawarsa 1960an sudah berbondong-bondong meninggalkan produk rangefinder mereka dan beralih ke SLR.

Dalam situasi yang prihatin ini Leitz memutuskan untuk meluncurkan 2 produk dalam waktu berdekatan. Produk pertama merupakan produk yang boleh dibilang gagal, dan produk kedua merupakan produk yang dikategorikan cemerlang, sangking cemerlang menjadi dilema bagi Leitz.




Produk pertama, Leica M5, diluncurkan pada tahun 1971. M5 memiliki styling yang sedikit berbeda dengan M4 pendahulunya. Konsumen pada umumnya sangat tidak antusias dengan Leica M5, dan segera sesudahnya M5 menjadi tipe Leica yang terlupakan.

Produk kedua, Leica CL, diluncurkan pada tahun 1973. Leica CL merupakan hasil kerjasama Leitz dengan Minolta. Leitz melisensikan design lensa Summicron 35mm beserta formula kaca optic kepada Minolta. Minolta memproduksi bodi kamera Leica CL dan lensa 40mm f/2 di Jepang, lalu dikirim ke Leitz untuk Quality Control. Harga Leica CL sengaja dipasang lebih murah dari Leica M4 atau M5 supaya menarik.


Minolta CL dengan Leica Summicron 40mm


Penjualan Leica CL meledak dan tercatat perbandingan penjualan 4 unit Leica CL untuk setiap 1 unit Leica M4. Namun kesuksesan ini tidak berlangsung lama karena Leitz memutuskan untuk menghentikan produksi Leica CL pada tahun 1976. Sebabnya tidak jelas, banyak pihak yang menyimpulkan bahwa Leitz takut Leica CL akan meng-kanibal produk mereka sendiri yaitu M4 dan M5.


Rancang Bangun Optik

Lensa 40mm f/2 yang dipasang pada Leica CL adalah jenis Summicron. Rancang bangun optik lensa 40mm ini dipercaya merupakan turunan dari Summicron 35mm versi 2 atau 3 dengan konfigurasi 6 elements 4 group, pola modified symmetrical Double Gauss.

Lensa yang dikirim Minolta ke Leitz menggunakan marking Leitz Summicron 40mm, sedangkan lensa sama yang dijual khusus untuk pasar Jepang menggunakan marking Minolta M-Rokkor 40mm. Semua lensa 40mm tahap pertama ini menggunakan Single Coating. Kedua lensa ini dibuat dalam mounting Leica M.



Voigtlander 40mm f/1.4 (kiri) & Minolta M-Rokkor 40mm f/2 (kanan)


Lensa 40mm ini menggunakan bahan kaca optik tipe LaFN2 yang dikembangkan oleh Leitz pada tahun 1969. LaFN2 adalah tipe bahan kaca optik dengan penambahan materi Lanthanum Oxide dan memiliki refractive index 1.7479, lebih tinggi dari bahan kaca optik tipe LaK9 (Leitz, 1953, Lanthanum Oxide) yang memiliki refractive index 1.694. Summicron 35mm versi 2 dan 3 juga menggunakan bahan kaca optik LaFN2.

Lanthanum Oxide sendiri merupakan materi yang bersifat radioaktif lemah dan memancarkan gelombang radioaktif Alpha meskipun tidak berbahya bagi kesehatan.

Lensa 40mm ini memiliki karakter kontras mid-high, tonal warna yang sangat khas Leica pada dasawarsa 1970an, dan distorsi yang sangat minim.

Erwin Putts pada buku Leica Copendium menilai kemampuan lensa ini berada diantara Summicron 35mm v3 dan Summicron 35mm v4. Karen Nakamura menilai lensa ini "....extremely sharp 6 elements...."


Babak 2: Kobe, Jepang, 1981.

Sesudah Leitz memutuskan untuk menghentikan produksi Leica CL, Minolta tetap memegang lisensi bodi CL dan Summicron 40mm. Minolta lalu mengembangkan penerus dari Leica CL yaitu Minolta CLE. CLE diluncurkan  pada tahun 1981 dan menggebrak pasaran dengan fitur TTL metering. Tidak pernah ada rangefinder dengan TTL metering sebelumnya, dan Leitz sendiri butuh waktu 20 tahun untuk menjawab gebrakan Minolta CLE dengan Leica M7.




Lensa M-Rokkor 40mm f/2 yang dipasang pada CLE adalah pengembangan lanjutan dari versi 1, namun dengan tekonologi Multi Coating dan pengendalian flare yang lebih baik. Lensa ini seperti versi 1, juga dibuat dalam mounting Leica M.

Lensa ini merupakan salah satu lensa rangefinder terbaik baik dari aspek ketajaman, kontras, ukuran yang kecil, dan handling, bahkan bila dibandingkan dengan lensa modern seperti Voigtlander Nokton 40mm f/1.4. Beberapa komentar dari reviewer internasional umumnya menyimpulkan “very sharp and contrasty, if not the sharpest 40mm ever created…”

Selain lensa 40mm ini, Minolta juga membuat lensa lain seri M-Rokkor yaitu:

  • 28mm f/2.8
  • 90mm f/4. Lensa ini diproduksi oleh Leitz di Wetzlar dengan marking Minolta M-Rokkor. Design dan bahan sama persis dengan Elmar 90mm.
Perlu diperhatikan bahwa seri M-Rokkor tidak ada hubungannya dengan lensa Rokkor lainnya yang dirancang buat kamera SLR.



*Contoh foto bisa dilihat di: http://www.flickr.com/groups/summicron-c/
*Summicron, istilah Leitz untuk menandakan lensa kamera dengan aperture maksimal f/2.
*M-Rokkor, istilah Minolta untuk menandakan lensa Rokkor dengan mounting Leica M. Nama Rokkor diambil dari Gunung Rokko, yang berdekatan dengan pabrik Minolta di Kobe, Jepang.

Update:
15 Maret 2013

Minggu, 20 Januari 2013

Canon 50mm f/1.4 M39 (Leica Thread Mount)

Lensa Canon 50mm f/1.4 M39 adalah salah satu lensa klasik legendaris, dirancang oleh Mr. Hiroshi Ito. Lensa ini dibuat dari tahun 1957 sampai tahun 1967. Lensa ini dibuat di masa produsen optik Jepang menghasilkan karya terbaik dengan metode produksi terbaik, tanpa terlalu mengkhawatirkan harga akhir produk mereka.

Harga lensa ini saat pertama diluncurkan adalah ¥25.000, bila mempertimbangkan aspek inflasi dan perubahan kurs maka setara dengan US$1.350 saat sekarang, lebih kurang dalam range harga lensa Canon L series terbaru.

Rancang lensa ini menganut prinsip Planar (symmetric Double-Gauss) dengan 6 elements dalam konfigurasi 4 group, single lens coating, dengan 9 bilah aperture. Ulir filter ukuran 48mm. Bahan lensa menggunakan gelas high refractive index dengan sifat low dispersion  yang tergolong tercanggih pada masanya.

Salah satu alasan kenapa lensa ini dianggap legendaris adalah bahkan Leica Summilux 50mm yang pertama dibuat tahun 1959 tidak mampu mengalahkan lensa Canon ini. Hanya dengan Summilux versi 2 pada tahun 1962 Leica mampu mengalahkan kedigdayaan lensa Canon ini. Oleh karena itu lensa Canon ini dijuluki Japanese Summilux.


Canon 50mm f/1.4 M39 (LTM)

Lensa ini memiliki karakter Planar sejati dimana bidang fokus tampil tajam dari sudut ke sudut dan sangat minim distorsi. Tingkat kontras medium dibanding lensa modern (contoh: Zeiss Planar 50mm f/2 ZM). Hal ini sebenarnya membuat lensa ini sangat cocok digunakan pada hari terik dengan sinar matahari menyengat. Karakter kontras lensa ini akan meredam kontras cahaya yang terlalu ekstrim, jadi boleh dibilang highlight dan lowlight sedikit terkompresi sehingga detail-detail highlight lowlight tidak hilang.

Lensa ini digolongkan sebagai lensa serba guna, sangat berbeda dengan lensa klasik lainnya yaitu Nikkor 50mm f/1.4SC (versi M39 atau Nikon S-mount) yang dirancang khusus untuk fokus jarak dekat.

Saturasi warna sedikit rendah dibanding lensa modern (contoh Zeiss Planar 50mm f/2 ZM) sehingga menghasilkan warna cenderung pastel. Foto warna dengan lensa ini memberikan nuansa vintage (klasik) atau warna softtone. Cara terbaik membuat foto nuansa vintage adalah menggunakan lensa vintage, tidak perlu kita oprek di Photoshop dengan filter simulasi vintage yang belum tentu akurat.

Karakter OOF (Out-Of-Focus) lensa ini tergolong menarik, berkat karakter rancang Planar yang low-aberration dan dibantu oleh 9 bilah aperture. Karakter OOF lensa ini sangat jauh berbeda dengan OOF lensa modern yang dirancang dengan lensa Aspherical (contoh: Voigtlander Nokton/Ultron ASPH).

Contoh foto dengan lensa ini bisa dilihat di Flickr gallery: http://www.flickr.com/groups/1489405@N25/

Senin, 14 Januari 2013

Zeiss Contax 85mm f/2.8 Sonnar

Zeiss Contax 85mm f/2.8 Sonnar adalah salah satu lensa legendaris yang dibuat dalam versi Contax/Yashica mount. Lensa ini merupakan rancangan Sonnar yang sangat cocok digunakan untuk portrait (baca artikel sebelumnya tentang Sonnar).

Lensa ini pertama kali diproduksi pada tahun 1975 dan tidak diketahui kapan terakhir stop produksi. Versi pertama lensa ini diberi kode AE dan versi kedua diberi kode MM. Perbedaan antara kedua versi tersebut sangat minimal. Sepengetahuan saya salah satu beda adalah bentuk aperture blades. Konfigurasi lensa adalah 5 elements 4 group, dengan lens coating Zeiss T*.




Zeiss juga membuat lensa Contax 85mm f/1.4 namun lensa tersebut tidak memiliki nilai khas karena dibuat dengan rancang Planar yang dimana sama saja dengan lensa Zeiss terbaru untuk Canon-mount (ZE) ataupun Nikon-mount (ZF).


Berikut contoh foto oleh lensa ini:


hyperlink ke photography-on-the-net.com

Ulasan-ulasan umumnya menyimpulkan karakteristik lensa sbb:

  • Ketajaman yang pas
  • Macro dan micro-contrast yang luar biasa bagus
  • Saturasi warna yang pas
  • OOF (Out Of Focus) halus
  • Zeiss "3D look" dimana subjek seolah-olah muncul keluar

Zeiss Contax 85mm f/2.8 terpasang pada EOS 400D

Flickr gallery: http://www.flickr.com/groups/1279418@N25/


Catatan:
Zeiss Ikon pasca Perang Dunia kedua terpecah menjadi dua perusahaan, yaitu Zeiss Opton di Oberkochen, Jerman Barat (Sekutu) dan Zeiss Jena di Jena, Jerman Timur (Soviet/komunis). Kedua perusahaan ini berdiri sendiri dan tidak ada hubungan kerja diantara mereka. Teknologi di Zeiss Jena cenderung stagnan sedangkan Zeiss Opton menyempurnakan teknologi coating T* mereka, mengembangkan rancang bangun lensa Distagon, Biogon, dan sistem fokus Floating Element.



Rancang Lensa Sonnar

Sonnar adalah susunan lensa yang dirancang oleh Dr. Ludwig Bertele (Jerman) pada tahun 1929 dan dipatenkan oleh Zeiss Ikon. Kata Sonnar sendiri diambil dari kata Sonne dalam bahasa Jerman yang berarti matahari. Sebabnya adalah lensa Sonar pada saat itu adalah lensa tercepat dengan bukaan aperture terbesar, jauh melebihi lensa-lensa lain yang ada.

Ludwig Bertele (1900-1985)

Versi pertama lensa Sonnar dengan aperture f/2 dibuat pada tahun 1932. Lensa ini terdiri dari 5 elements dalam 3 grup (triplet).

sonnar
Sonnar 50mm f/2, 1932.

Versi kedua lensa Sonnar dengan aperture f/1.5 dibuat pada tahun 1934. Lensa ini terdiri dari 7 elements dalam 3 grup (triplet), konfigurasi modified triplet. Konfigurasi ini dengan aperture f/1.5 yang menjadi termashyur di kemudian hari.

sonnar
Sonnar 50mm f/1.5, 1934.

Karakteristik dari lensa Sonnar adalah kontras yang tinggi dan imun terhadap silau, hal ini dimungkinkan dengan lebih sedikitnya penampang lensa ke udara dimana beberapa element lensa direkat menjadi satu kesatuan dengan resin balsam, sejenis resin lem organik dari pepohonan beech. Kelemahan lensa Sonnar yaitu aberration seperti contohnya field curvature, dimana plane of focus tidak rata tapi sedikit melengkung pada bagian tepi. Field curvature ini sering memunculkan impresi 3D dalam foto dimana penampang fokus terasa sedikit melengkung ke belakang, prinsipnya bagian tengah foto terfokus sempurna tapi bagian tepi foto sedikit diluar focus.

Lensa Sonar secara umum dirancang untuk focus jarak dekat sampai dekat-menengah, berbeda dengan rancangan Zeiss Distagon yang ditujukan lebih ke focus jarak jauh. Dengan demikian lensa Sonnar tidak begitu cocok untuk foto lanskap atau arsitektur, untuk foto lanskap lebih baik menggunakan lensa Zeiss Distagon dan Zeiss Planar untuk arsitektur.

Salah satu keunggulan lensa Zeiss secara umum adalah coating T* (awalnya hanya huruf T tanpa *) yang dikembangkan oleh Alexander Smakula pada tahun 1935 lalu dipatenkan oleh Zeiss Ikon. Teknologi vacuum fluorocoating ini adalah salah satu rahasia perang Nazi. Pada saat perang dunia ke-2 dimulai, Jerman Nazi memiliki teknologi optik yang tercanggih, dimana digunakan di periskop kapal selam Nazi (U-boat) dan field binocular (teropong). Dengan coating ini maka light-loss (luruh cahaya) menjadi jauh lebih sedikit, efeknya adalah teropong yang lebih terang. Pasukan komando Sekutu suka menggunakan teropong Zeiss hasil rampasan karena memiliki kualitas jauh diatas teropong milik Sekutu. Coating lensa Zeiss ini memberikan bias keunguan pada lensa bila diterawang pada sudut.

Zeiss 50mm f/1.5 Sonnar (Contax RF mount)

Leitz (Leica) sendiri baru mulai menggunakan teknik drip-coating pada lensa Xenon pasca perang dunia ke-2. Hasil dari eksperimen Leitz ini adalah lahirnya lensa Leica Summarit 50mm f/1.5 pada tahun 1949. Rancang Xenon sebenarnya adalah turunan dari rancang Planar, yang dipatenkan oleh Zeiss Ikon, hasil rancangan Dr. Paul Rudoplh pada tahun 1896.

Teknologi coating Leitz pada jaman 1950an sampai awal 1960an masih merupakan soft coating yang dimana gampang aus bila tidak hati-hati saat dibersihkan.

Rancang bangun Sonnar banyak dijiplak oleh pihak lain pasca perang dunia ke-2. Pihak Rusia yang meng-invasi Jerman membawa banyak peralatan pabrik Zeiss Ikon di Jena, berikut sisa stok lensa kembali ke kota Krasnogorsk, dekat Moskow. Disana Rusia menjiplak design Sonnar tersebut dan diproduksi di pabrik KMZ dengan merk Jupiter. Coating lensa hasil jiplakan Soviet cenderung kebiruan, bukan keunguan seperti aslinya Zeiss. Beberapa ilmuwan optic Zeiss dan pekerja pabrik juga dibawa paksa ke Rusia. Tiruan Zeiss Sonnar oleh Rusia berkualitas rendah secara optic dan rumah lensa terbuat dari metal campuran berkualitas rendah, bukan kuningan lapis chrome seperti asli buatan Zeiss.




Zeiss Ikon pasca Perang Dunia kedua terpecah menjadi dua perusahaan, yaitu Zeiss Opton di Oberkochen, Jerman Barat (Sekutu) dan Zeiss Jena di Jena, Jerman Timur (Soviet). Kedua perusahaan ini berdiri sendiri dan tidak ada hubungan kerja diantara mereka. Teknologi di Zeiss Jena cenderung stagnan sedangkan Zeiss Opton menyempurnakan teknologi coating T* mereka, mengembangkan rancang bangun lensa Distagon, Biogon, dan sistem fokus Floating Element.


Jupiter 50mm f/1.5 Sonnar

Pihak lain yang menjiplak design Sonnar adalah pihak Jepang. Sesudah akhir perang dunia ke-2, Nippon  Kogaku (Nikon) menggunakan design Sonnar dalam beberapa lensa mereka untuk kamera rangefinder Nikkor . Lensa Nikkor paling terkenal adalah lensa 50mm f/1.4 (7 elements 3 grup) dan 50mm f/1.5 (6 elements 3 grup) yang dibuat sekitar tahun 1950an, semuanya menggunakan design Sonnar. Kedua lensa tersebut juga dilapis lens coating jiplakan formula Zeiss. Zaman sekarang lensa-lensa ini sudah merupakan collector item dengan harga tinggi melebihi harga aslinya.

Pihak Jepang kemudian memperbaiki formula coating Zeiss yang didapat dari pihak Sekutu. Formula aslinya menghasilkan coating dengan kekerasan Medium. Namun Jepang berhasil mengembangkan formula baru yang menghasilkan coating dengan kekerasan High yang dimana lebih awet dan tahan aus. Lensa Nikkor 50mm f/2 LTM (1948) generasi awal diberi marking H.C. yang menandakan Hard Coating.


Nikkor 50mm f/1.4 SC (LTM & Nikon S-mount)

Kwanon (Canon) juga menggunakan design Sonnar pada lensa mereka yaitu 50mm f/1.5 (7 elements, 3 grup) yang dibuat sekitar tahun 1950an untuk kamera rangefinder Canon.

Canon 50mm f/1.5 LTM

Pasca perang dunia ke-2, Pihak Sekutu memberikan formula lens coating Zeiss kepada Jepang. Hal ini banyak membantu Jepang dalam melanjutkan pengembangan teknologi  lens coating mereka yang mulai digunakan pada akhir tahun 1940an.

Pasca perang dunia ke-2, lensa dan kamera Zeiss banyak dibawa ke Amerika. Hollywood pada saat itu sangat menyukai lensa Zeiss Sonnar. Sebabnya adalah portrait artis-artis yang dibuat dengan lensa Zeiss Sonnar memberikan semacam pendar pearly glow yang identik dengan portrait glamour artis-artis Hollywood pada saat itu. Sejak itu lensa Sonnar menjadi legenda lensa portrait.

Secara teknis mungkin design Sonnar tidak sesempurna design lain seperti Zeiss Planar, atau Leitz Double-Gauss modified. Namun lensa Sonnar memiliki karakter tersendiri yang sangat khas dan sering digunakan oleh fotografer ulung yang mengerti keunggulan lensa ini untuk foto yang bersifat spesifik.

Beberapa contoh lensa Sonnar modern adalah sbb:
- Zeiss 50mm f/1.5 ZM (M-mount), masih produksi, sejak 2004, made in Japan oleh Cosina.
- Zeiss 85mm f/2 ZM (M-mount), produksi tahun 2000-2008, harga lensa baru saat itu adalah US$3.000, made in Germany oleh Zeiss.
- Zeiss Contax 85mm f/2.8 (C/Y mount), sekitar tahun 1975-1980, stop produksi, made in Germany oleh Zeiss, dan made in Japan oleh Yashica.

Zaman sekarang nama Sonnar tidak selalu menandakan bahwa suatu lensa dirancang dengan formula Sonnar. 

Lensa Sony Carl Zeiss Sonnar 24mm f/1.8ZA (Sony Alpha mount) juga bukan merupakan lensa Sonnar akan tetapi menggunakan konfigurasi 8 elements dalam 7 grup. Konfigurasi ini lebih mendekati formula Zeiss Distagon. Jadi nama Sonnar digunakan hanya sebagai bagian dari marketing campaign.


Updated: 
15 Feb 2013.
14 Maret 2013.

Toptik: Visi & Misi

Salam kenal, nama saya Heru atau sering dikenal dengan nick Herno di forum fotografi. Ide Toptik lahir dari hobi saya sebagai fotografer amatir. Saya pertama belajar motret di tahun 1995 sewaktu saya masih kuliah di Melbourne, Australia.

Saya belajar secara mentoring kepada teman saya, Greg Cranwell, yang merupakan fotografer wedding di kota Geelong, Australia. Jadi sistem belajarnya dengan banyak membaca buku, diskusi, lalu trial-error, review, repeat. Saya sering berjalan kaki di Melbourne sambil mencari objek foto yang menarik. Saya foto dan buat contact print lalu saya tunjukin ke Greg. Kemudian dia memberi masukan dan koreksi dan saya latihan lagi, berulang-ulang. Sampai suatu hari dia menawarkan posisi sebagai asisten fotografer di studio dia. Dengan halus saya menolak karena saat itu saya tidak pernah berpikiran fotografi sebagai karir profesional.

Kamera yang saya pakai saat itu adalah Nikon FM2 dengan lensa Nikkor 105mm f/2.5 AI. Saya gunakan setup ini street-shooting. Alasannya adalah saya suka memotret orang tapi saya tidak suka terlalu dekat dengan orang yang saya potret. Saya orangnya memang cenderung sulit bersosialisasi. Film yang saya pakai biasanya Kodak Tri-X 400.

Contoh bodi Nikon FM2

Setup ini sangat berpengaruh kepada perkembangan saya karena dikemudian hari saya dengan gampang sekali menangani lensa kisaran 90mm-105mm untuk portrait, hampir seperti naluri kedua.

Cara belajar ini cukup mahal karena dari roll film isi 36 saya biasa hanya mendapatkan 2-3 shot yang bagus. Hasil foto tidak dicetak satu persatu tapi dicetak dalam bentuk contact print dimana 36 exposure dicetak dalam satu kertas seukuran A4. Kemudian diperiksa dengan loupe.

Greg sendiri hanya menggunakan kamera Hasselblad karena tuntutan kualitas pekerjaan dia.

Sepulang dari kuliah di Australia saya vakum motret 10 tahunan sampai akhirnya di tahun 2011 teman saya (Michael owner camera shop V3 Technology) membujuk saya membeli Canon Eos 7D dengan lensa 50mm f/1.4. Saya setuju dan sejak itu motret lagi.


Contoh bodi Canon 7D

Saya tidak lama menggunakan Canon 7D karena memang saya tidak suka kamera DSLR super canggih yang gambot. Fuji X-Pro1 di luncurkan akhir tahun 2012 dan saya segera beralih sistem. Dengan Fuji X-Pro1 saya merasa lebih nyaman motret meskipun tidak 100% karena saya masih menginginkan focusing dengan split prism yang tidak bisa diakomodasi oleh Fuji X-Pro1.

Fuji X-Pro1, lensa Fuji XF 35mm f/1.4

Saya sangat terkesan dengan lensa Fuji XF 35mm f/1.4 karena memiliki kontras yang tinggi dan warna yang cemerlang, tapi kepuasan saya tidak bertahan lama. Ternyata lensa modern ini tidak cocok untuk portrait karena terlalu tajam, gradasi warna kurang smooth, dan kontras yang kelewat tinggi.

Sejak itu saya mulai meriset lensa-lensa jadul Leitz, Canon, Nikon, dan Zeiss. Ternyata pada tahun 1950-1960an Jepang membuat lensa-lensa berkualitas sangat bagus. Pada masa itu Jepang banyak menjiplak rancang lensa Jerman dan Jepang berusaha keras untuk melampaui kualitas lensa Jerman. Jadi prinsipnya harga tidak terlalu jadi masalah. Lensa Jepang dibuat dengan brass (kuningan) disepuh chrome, bobotnya berat dan awet dengan lens coating mutakhir (kita akan bicarakan lens coating Jepang di artikel berikutnya). Jauh sekali dibanding lensa Jepang modern dimana dibuat dengan plastik dengan biaya produksi semurah mungkin dan kualitas optik yang pas-pas saja. Zaman sekarang lensa buatan Jepang biasanya dibagi 2 kategori, pertama kategori murah meriah, dan kategori kedua untuk Profesional (memang mahal dan kualitas optik prima).

Nah berawal dari rasa penasaran maka saya jadi banyak belajar tentang lensa jadul. Untuk kedepan kita akan membahas sejarah perkembangan lensa kamera beserta ulasan lensa-lensa menarik dengan karakteristik yang khas. Semoga apa yang saya dapat bisa saya sharing-kan bagi sesama fotografer.