Senin, 14 Januari 2013

Toptik: Visi & Misi

Salam kenal, nama saya Heru atau sering dikenal dengan nick Herno di forum fotografi. Ide Toptik lahir dari hobi saya sebagai fotografer amatir. Saya pertama belajar motret di tahun 1995 sewaktu saya masih kuliah di Melbourne, Australia.

Saya belajar secara mentoring kepada teman saya, Greg Cranwell, yang merupakan fotografer wedding di kota Geelong, Australia. Jadi sistem belajarnya dengan banyak membaca buku, diskusi, lalu trial-error, review, repeat. Saya sering berjalan kaki di Melbourne sambil mencari objek foto yang menarik. Saya foto dan buat contact print lalu saya tunjukin ke Greg. Kemudian dia memberi masukan dan koreksi dan saya latihan lagi, berulang-ulang. Sampai suatu hari dia menawarkan posisi sebagai asisten fotografer di studio dia. Dengan halus saya menolak karena saat itu saya tidak pernah berpikiran fotografi sebagai karir profesional.

Kamera yang saya pakai saat itu adalah Nikon FM2 dengan lensa Nikkor 105mm f/2.5 AI. Saya gunakan setup ini street-shooting. Alasannya adalah saya suka memotret orang tapi saya tidak suka terlalu dekat dengan orang yang saya potret. Saya orangnya memang cenderung sulit bersosialisasi. Film yang saya pakai biasanya Kodak Tri-X 400.

Contoh bodi Nikon FM2

Setup ini sangat berpengaruh kepada perkembangan saya karena dikemudian hari saya dengan gampang sekali menangani lensa kisaran 90mm-105mm untuk portrait, hampir seperti naluri kedua.

Cara belajar ini cukup mahal karena dari roll film isi 36 saya biasa hanya mendapatkan 2-3 shot yang bagus. Hasil foto tidak dicetak satu persatu tapi dicetak dalam bentuk contact print dimana 36 exposure dicetak dalam satu kertas seukuran A4. Kemudian diperiksa dengan loupe.

Greg sendiri hanya menggunakan kamera Hasselblad karena tuntutan kualitas pekerjaan dia.

Sepulang dari kuliah di Australia saya vakum motret 10 tahunan sampai akhirnya di tahun 2011 teman saya (Michael owner camera shop V3 Technology) membujuk saya membeli Canon Eos 7D dengan lensa 50mm f/1.4. Saya setuju dan sejak itu motret lagi.


Contoh bodi Canon 7D

Saya tidak lama menggunakan Canon 7D karena memang saya tidak suka kamera DSLR super canggih yang gambot. Fuji X-Pro1 di luncurkan akhir tahun 2012 dan saya segera beralih sistem. Dengan Fuji X-Pro1 saya merasa lebih nyaman motret meskipun tidak 100% karena saya masih menginginkan focusing dengan split prism yang tidak bisa diakomodasi oleh Fuji X-Pro1.

Fuji X-Pro1, lensa Fuji XF 35mm f/1.4

Saya sangat terkesan dengan lensa Fuji XF 35mm f/1.4 karena memiliki kontras yang tinggi dan warna yang cemerlang, tapi kepuasan saya tidak bertahan lama. Ternyata lensa modern ini tidak cocok untuk portrait karena terlalu tajam, gradasi warna kurang smooth, dan kontras yang kelewat tinggi.

Sejak itu saya mulai meriset lensa-lensa jadul Leitz, Canon, Nikon, dan Zeiss. Ternyata pada tahun 1950-1960an Jepang membuat lensa-lensa berkualitas sangat bagus. Pada masa itu Jepang banyak menjiplak rancang lensa Jerman dan Jepang berusaha keras untuk melampaui kualitas lensa Jerman. Jadi prinsipnya harga tidak terlalu jadi masalah. Lensa Jepang dibuat dengan brass (kuningan) disepuh chrome, bobotnya berat dan awet dengan lens coating mutakhir (kita akan bicarakan lens coating Jepang di artikel berikutnya). Jauh sekali dibanding lensa Jepang modern dimana dibuat dengan plastik dengan biaya produksi semurah mungkin dan kualitas optik yang pas-pas saja. Zaman sekarang lensa buatan Jepang biasanya dibagi 2 kategori, pertama kategori murah meriah, dan kategori kedua untuk Profesional (memang mahal dan kualitas optik prima).

Nah berawal dari rasa penasaran maka saya jadi banyak belajar tentang lensa jadul. Untuk kedepan kita akan membahas sejarah perkembangan lensa kamera beserta ulasan lensa-lensa menarik dengan karakteristik yang khas. Semoga apa yang saya dapat bisa saya sharing-kan bagi sesama fotografer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar